BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Perbuatan
yang melanggar Delik Adat “Lokika Sanggraha” sering kali terjadi dalam
masyarakat Hindu Bali, bahkan mengenai, bahkan mengenai kasus-kasus Delik adat
Lokika Sanggraha ini telah banyak di adili dan di putuskan oleh
pengadilan-pengadilan negeri di Bali.
Di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia tidak dikenal adanya
suatu Delik Adat Lokika Sanggraha. Delik Adat Lokika Sanggraha di atur dalam
Kitab Adhigama. Pasal 359 Kitab Adhigama menjelaskan Lokika Sanggraha adalah
hubungan percintaan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dimana
keduanya belum terikat suatu perkawinan yang sah menurut Hukum Nasional maupun
Hukum Adat, Delik Adat Lokika Sanggraha berawal dari seorang telah menjanjikan
kelak di kemudian hari akan mempersuntingnya sebagai istri sehingga wanita
tersebut yang akan mempersuntingnya sebagai wanita tersebut yang akhirnya
bersedia menyerahkan segalanya sampai terjadi hubungan biologis dan ternyata
kemudian pria tersebut memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang sah.
Ketentuan
adat yang mengatur tentang Delik Lokika Sanggraha ini masih di pertahankan
dalam kehidupan masyarakat Bali, sehingga pelanggaran teradap delik-delik Adat,
khususnya Delik Adat Lokika Sanggraha yang dirasakan sebagai pelanggaran hukum
masyarakat dan pelanggaran keadilan masyarakat.
Suatu
hubungan biologis tersebut haruslah dijaga dan diarahkan agar terpelihara
keseimbangan hubungan tersebut. Apabila aktivitas yang berhubungan dengan
kebutuhan biologis yang dilaksanakan dengan tidak patut, maka akan menimbulkan
gangguan baik yang bersifat “sekale” (nyata/Nampak dengan panca indra), maupun
bersifat “niskala” (magis/tidak Nampak dengan panca indra), yang justru
mengganggu keseimbangan hubungan baik yang sifatnya horisontal maupun yang
bersifat vertikal
Sanksi
yang dijatuhkan terhadap Delik Adat Lokika Sanggraha adalah merupakan
pencerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga keberadaan Delik
Adat Lokika Sanggraha ini dipertahankan oleh masyarakat yang mencerminkan suatu
kebudayaan masyarakat setempat.
Kebudayaan
dalam masyarakat itu mempunyai 3 (tiga) wujud yaitu:
1. Wujud
kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya.
2. Wujud
kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat.
3. Wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Dari
ketiga wujud kebudayaan tersebut diatas, norma-norma hukum yang hidup di
masyarakat dan dipertahankan oleh masyarakat adalah wujud pertama dari
kebudayaan. Wujud dari kebudayaan mempunyai tugas sebagai tata kelakuan yang
mengatur, mengendalikan serta memberikan arah kepada kelakuan dan perbuatan
manusia dalam masyarakat.
Perbuatan
yang tidak sesuai dengan keadilan dalam masyarakat atau nilai kemasyarakatan
dan lebih dikenal dengan Delik Adat. Pelanggaran terhadap norma-norma
kemasyarakatan tersebut menimbulkan ketidak seimbangan atau kegoncangan magis
dalam masyarakat setempat.
Dalam
perkembangan masyarakat selanjutnya bahyak Delik-Delik Adat Adat tidak hanya
diselesaikan dan mendapatkan sanksi atau pamidanaan dari masyarakat atau
kepala-kepala adat, tetapi melalui badan-badan peradilan formal. Demikian
halnya dengan Delik Adat Lokika Sanggraha, pihak korban mencari keadilan
melalui prosedur hukum khususnya Hukum Pidana.
Sehubung
dengan dengan hal tersebut Delik Adat Lokika Sanggraha yang masih hidup dan
berlaku dalam masyarakat di daerah Bali. Walaupun tingkat pandangan masyarakat
bervariasi bagi masyarakat tradisional.
Pada
alam pikir tradisional Indonesia yang bersifat ketimuran, yang penting ialah
adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan antara dunia lahir
dan dunia gaib, antara golongan orang seorang dengan manusia seluruhnya, antara
orang seorang dan teman masyarakatnya serta juga alam lingkungan. Segala
perbuatan yang mengganggu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan
petugas hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan
keseimbangan hukum.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah
pola penyelesaian pelanggaran Delik Adat Lokika Sanggraha?
2. Bagaimana
kedudukan anak yang lahir karena Delik Adat Lokika Sanggraha dalam kewarisan
menurut Hukum Adat Bali?
1.3 TUJUAN
Adapun
yang menjadi tujuan dari pembuatan peaper ini adalah:
1. Untuk
mengetahui dan memahami pola penyelesaian pelanggaran Delik Adat Lokika
Sanggraha.
2. Untuk
mengetahui sejauh mana kesadaran masyarakat tentang kedudukan anak yang lahir
karena Delik Adat Lokika Sanggraha dalam pewarisan yang masih hidup di Bali
umumnya.
1.4 METODE
Adapun metode
yang kami gunakan yaitu metode normatif, dimana kami mengambil bahan peaper ini
dari media online, media cetak dan beberapa literatur. Yang kami gunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan peaper ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 POLA
PENYELESAIAN DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAHA
2.1.1 PENYELESAIAN DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAH AMELALUI PROSES PENGADILAN
2.1.1 PENYELESAIAN DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAH AMELALUI PROSES PENGADILAN
Fungsi hakim dalam memeriksa dan
mempertimbangkan perkara menurut hukum adat, tidak dibatasi Undang-Undang.
Hakim tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan tentang pembuktian. Bagi
Hakim yang terpenting adalah
memperhatikan apakah hukum adat itu masih hidup dan dipertahankan masyarakat
adat yang bersangkutan dan apakah hukum adat itu dapat dipakai sebagai bahan
pertimbangan ataukah hukum adat itu sudah tidak sesuai lagi dengan perasaan dan
kesadaran hukum masyarakat umum, apakah hukum adat itu masih mempunyai kekuatan
material ataukah bahkan bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional.
Jadi agar pertimbangan Hakim dalam
pemeriksaan perkara tidak sia – sia maka kita dapat kembali kepada pendapat Van
Hollenven yang menyatakan :
“Jika dari
atas telah diputuskan untuk mempertahankan hukum adat padahal hukum itu sudah
mati maka peraturan-peraturan itu sia-sia belaka. Sebaliknya jika dari atas
diputuskan bahwa hukum adat itu harus diganti padahal di dusun-dusun, di desa –
desa dan dipasar hukum adat itu masih kokoh dan kuat maka hakim akan sia – sia
belaka.”
2.1.2 PENYELESAIAN DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAHA
MELALUI PROSES ADAT DALAM MASYARAKAT ADAT
Pola penyelesaian Delik Adat Lokika Sanggraha melalui proses
adat dalam masyarakat adat diawali dengan peraturan yang dibuat oleh badan
berwenang untuk mengatur tingkah laku manusia dan apabila dilanggar dikenakan
sanksi. Jadi adat disini, dilaksanakan untuk menciptakan keadilan dlam
masyarakat , adat adalah pencerminan daripada kepribadian sautau bangsa yang
bersangkutan dari abad ke abad. Dan begitu pula dengan awig – awig yang dibuat oleh perangkat Desa Daerah adat setempat
dibuat oleh perangkat Desa adat untuk mengatur daerahnya sendiri.
Dalam masyarakat bahwa hukum lahir dari
masyarakat (Ubi Societies ubi ius) atau masyarakat itu sendri yang melanggar
dan memberlakukannya , begitu pula dengan awig – awig bahwa awig – awig itu
dibuat oleh perangkat Desa adat yang lahir dari masyarakat Desa adat. Jadi, di
sini hukum dengan awig – awig sama, dimana keduannya sama – sama mempunyai
kekuatan mengikayt, terbukti dengan adanya landasan hukum pembentukan awig –
awig didalam Pasal 18 UUD 19945 dijelaskan bahwa daerah diberi hak otonom I di
dlm mengatur dirinya , jadi dalam hal ini termasuk pula Desa atau Desa adat itu
sendiri.
Jadi, peranan penting dari awig – awig
disamping sebagai pegangan Kepala Desa yang bersangkutan juga memegang peranan
penting dalam menyelesaikan Perkara Perdata di Pengadilan UU no. 14 tahun 1970
tentang “Ketentuan – ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman” dengan adanya awig –
awig Desa adat, kelancaran penyelesaian dilaksanakan melalui proses adat adan
masyarakat secara berdaya guna dan berhasil guna, maka dipandang perlu
melestarikan falsafah dari Tri Hita Karana serta mengadakan perubahan
seperlunya sesuai dengan perkembangan.
Untuk itu bagi petugas hukum secara
formal mengadung peraturan hukum akan tetapi kekuatan material daripada
peraturan hukum itu tidak sama apabila
penetapan itu dalam kenyataan social sehari – hari dituruti oleh
masyarakat maka kekuatan material penetapan itu adalah suatu penetapan yang
tidak dituruti didalam kehidupan sehari-hari oleh rakyat kekuatan materil
adalah nihil.
Adaapun kasus dalam hal ini adalah Delik
Adat Bali Lokika Sanggraha yang
sebagai terdakwa dengan saksi korban dimana keduannya telah menjalin hubungn
percintaan sebagai suami istri dan kenyataan terdakwa belum melangsungkan
pernikahan sedangkan saksi korban masih lajang atau belum berkeluarga. Sehingga
perbuatannya dapat di katakana sebagai Delik Adat Lokika Sanggraha Pasal 359 Adhigama.
Sebenarnya suatu bentuk hunungan
biologis yang sesuai dengan ketentuan agama dan perundang-undangan haruslah
dijaga dan diarahkan agar terpelihara
keseimbangan hubungan tersebut. Apabila aktivitas yang berhubungan dengan
kebutuhan biologis yang dilaksanakan dengan tidak patut seperti Delik Adat Lokika Sanggraha maka akan menimbulkan
gangguan baik yang bersifat “sekala”(Nampak dengan panca indra), mauoun yang bersifat
“Niskala” ( Tidak Nampak dengan panca indra), yang justru mengganggu
keseimbangan hubungan baik yang sifatnnya horizontal yang terikat dengan
kehidupan bermasyarakat maupun yang sifatnya vertical yang berkaitan dengan
hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa berbentuk kutukan dari yang ghaib.
Perbuatan atau peristiwa Delik Adat Lokika Sanggraha itu menurut alam
pikitran yang tradisional banyak yang tidak rasional, tidak intelektual, tidak
liberal, melainkan bersifat kosmis, menempatkan kehidupan umat manusia itu
bertautan dengan alam, tidak terlepas dari ancaman Tuhan Yang Maha Pencipta.
Gunung meletus, sungai banjir, penyakit merajalela dan lain – lainnnya itu
merupak ciri adanya peringatan Tuhan atau hukuman Tuhan akibat perbuatan salah
seorang warga masyarakat yang berlebihan tidak bersyukur kepada-Nya.
2.2 KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN AKIBAT DELIK ADAT
LOKIKA SANGGRAHA DENGAN KELUARGA LAKI – LAKI PELAKU DELIK DAN WANITA YANG
MELAHIRKAN
Tentang keberadaaan anak luar kawin ada
2 (dua) pendirian :
•
Menggap anak – anak itu tidak bersalah, bebas cela,
penghinaan dan hukuman, walaupun hubungan perempuan dan laki – laki tanpa
upacara adat , tanpa perkawinan atau sesuatu formalitas apapun.
•
Perbuatan melahirkan Anak Tidak Sah adalah dikutuk dan harus
dienyahkan, dieksekusikan baik bagi si Ibu maupun bagi si anak.
Dalam hal ini, jika dilihat dari hal
yang pertama, bahwa anak yang diluar perkawinan, ber – ibu pada orang atau
perempuan yang tidak menikah yang melahirkannya, sebagaimana juga seorang
yangdilahirkan dari seorang ibu yang belum dalam hubungan perkawinan. Anak yang
lahir di luar perkawinan dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan tidak
tercela atau cacat yang harus diselamatkan dari celaan orang dengan cara
mengawinkan wanita tersebut sebelum melahirkan anaknya itu.
Tetapi dalam hal kedua, terdapat suatu
sikap yang keras, mengutuk terhadap ibu yang melahirkan tanpa pernikahan dan
anak yang lahir diluar perkawinan tersebut. Hal ini karena dipengaruhi oleh
adanya pandangan magis religius bahwa anak yang lahir diluar perkawinan membawa
malapetaka dan kerugian material yang sulit dikira-kira dan oleh karena itu
kedua – duannya, ibu dan ankanya harus diasingkan dari masyarakat, harus
dibunuh atau diserahkan kepada kepa adat/Raja sebagai Budak . Berhubung dengan
itu baik dahulu maupun sekarang , diadakan suatu lembaga ( kawin paksa, kawin
darurat dan kawin lelikur ), atau aturan ( Delik Adat Lokika Sanggraha), untuk
mencegah supaya ibu dan anak jangan sampai tertimpa kemalangan.
Adapun diketahui bahwa masih ada jalan
dengan alasna – alasan tertentu mengesahkan anak itu dengan cara : melakukan
pembayaran adat agar boleh tinggal dalam masyarkat dan perhubungan semata –
mata adalah dengan ibunya. Anak yang dilahir di luar perkawinan adalah sah,
jika yang dilahirkan di masa pertunangan, untuk kasus yang di temukan ini bahwa
dilakukannya pernikahan antara wanita yang sedang mengandung anak hasil
hubungan di luar perkawinan tersebut dengan sebilah keris. Kalau di lihat lebih
jauh perkwinan ini mirip dengan Perkawinan Lelikur yang ada di Minahasa. Namun
yang memberikan sebilah keris tersebut adalah orang tua kandung dari wanita
tersebut.
Jadi perkawinan yang terjadi disini
tidak sama dengan lembaga – lembaga yang telah ada seperti yang dikemukakan
oleh Tamakiran. Lembaga – lembaga itu adalah :
•
Kawin Paksa, di sini laki – laki dan wanita yang berbuat
tersebut dipaksa untuk kawin. Misalnya Kawin Kerapatan Marga (Palembang) ;
•
Kawin Darurat, bila Laki – laki yang berbuat tersebut tidak
diketahui atau menghilang, maka wanita tersebut dikawinkan dengan sembarang
orang yang mau mengawininya dan apabila ini tidak ada, maka Kepala Adatlah yang
mengawininya. Jadi fungsi kawin darurat di sini ialah untuk menutup malu.
Misalnya : Kawin Tambelan (Jawa).
•
Lembaga Lelikur, lembaga ini terdapat di Minahasa, artinya
seorang laki-laki memberikan sesuatu yang bersifat magis religius kepada wanita
tersebut sebagai pengakuan bahwa anak yang akan dilahirkan itu adalah anaknya.
Sesuatu itu dapat berupa apa saja, misalnya ; keris, pedang , tombak , rambut
dan sebagainya.
2.2.1. HUBUNGAN ANAK DENGAN LAKI – LAKI PELAKU
DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAHA
Hukum adat waris adalah aturan –
aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta
warisan diteruskan atau dibagi dari pewaris kepada para waris dari generasi ke
generasi berikutnya. Menurut Ter Haar dikatakan bahwa “Hukum waris adat adalah
aturan – aturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana dari masa ke masa
proses penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak
berwujud dari generai ke generasi.”
Dengan demikian dalam hukum waris
itu mengandung 3 (tiga) unsur yaitu :
•
Adanya harta peninggalan/harta warisan.
•
Adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan.
•
Adanya ahli waris atau pewaris yang akan meneruskan
pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.
Dilihat dari system kewarisannya
orang yang mendapat warisan (kewarisan) terdapat tiga macam system yaitu :
•
Sistem Kewarisan kolektif
•
Sistem Kewarisan mayorat
•
Sistem Kewarisan individual
Sistem Kewarisan kolektif adalah apabila para ahli waris
mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari
pewaris yang tidak terbagi – bagi secara perseorangan. Menurut system ini para
ahli waris tidak boleh memiliki harta peningglan secara pribadi.
Sistem Kewarisan mayorat adalah
apabila harta pusaka yang tidak terbagi – bagi dan hanya dikuasaianak tertua,
yang berarti hak pakai, hak mengelolah dab nenubgut hasilnya. Dikuasai
sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban megurus adan memelihara
adik – adiknya sampai mereka dapat berdiri sendiri.
Sistem Kewarisan individual adalah
apabila harta warisan dibagi – bagi dan dapat dimiliki secara perseorangan
dengan “hak milik” yang berarti setiao waris berhak memakai, mengolah dan
menikmati hasilnya atau juga mentransaksikan tertutama setelah pewaris wafat.
Kalau di hubungkan dengan system
kewarisan menurut hukum Adat Bali, bahwa
Bali menganut system kekeluargaan Patrilineal
(kebapakan). Artinya hanya anak laki – laki yang sah yang bisa mewarisi
dari harta peningglan orang tuanya, anak angkat yang sah secara hukum adat juga
bisa mewaris, sedangkan anak perempuan tidak bisa mewaris. Tetapi ada suatu
pengecualian apabila dalam suatu keluarga mempunyai ‘1 (satu) orang anak
perempuan kemudian anak perempuan tersebut berhak mewaris karena statusnya
sudah berubah menjadi status anak laki – laki sedangkan yang laki – laki
statusnya berubah menjadi perempuan, untuk itu dia tidak berhak lagi mewarisi
pada hanya warisan bapaknya artinya dia sudah putus secara hukum status
kekeluargaan.
Demikian juga pada prinsipnya system
kewarisan di Bali ada harta warisan yang bisa dibagi – bagi oleh para ahli
warisannya.
Misalnya harta warisan yang dapat di bagi – bagi :
•
Rumah
•
Sawah
•
Mobil dan sebagainya
Sedangkan harta warisan yang tidak dapat dibagi – bagi
adalah :
•
Harta Pusaka
•
Tempat Suci
Dengan demikian system kewarisan
menurut hukum adat Bali yang menganut system kekeluargaan patrilineal bila
dihubungkan dengan system kewarisan maka dapat di hubungkan yaitu memakai
system mayorat dari system individual. Artinya dalam pewarisan ada harta yang
dapat dibagi-bagi secara individual da nada harta yang memang tidak bisa
dibagi-bagi.
2.3. HAK ANAK
TERHADAP WARISAN ORANG TUANYA
Dari uraian tersebut diatas dapat
memberikan suatu kesimpulan bahwa :
•
Dalam hukum adat ada waris status anak di luar perkawinan
pada umumnya mewaris pada ibunya (yang melahirkan);
•
Hukum adat waris tidak banyak menyebutkan arah hukum anak di
luar perkawinan terhadap pria yang bersangkutan.
Kedudukan anak yang dilahirkan di luar
perkawinan dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1974 dijelaskan dalam Pasal 43
ayat 1 :
“Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya”.
Jadi anak yang dilahirkan karena Delik
Adat Lokika Sanggraha akan langsung menjdai ahli waris dari ibunya.
2.4.HAK WARIS SI ANAK DENGAN PRIA YANG MENGHAMILI IBUNYA
Sebagaimana dari uraian diatas,
bahwasannya dalam masyarakat adat disebutkan adanya anak sah dan tidak sah
(diluar perkawinan) mereka lahir sebagai akibat dari perkawian yang dilakukan
oleh ibunya dan si bapak sesuai dengan kehendaknya masing – masing, justru dari
itu akan menunjukan suatu perbedaan yang sangat berpengaru terhadap status
waris si anak di kemudian hari.
Secara umum, hukum adat tidak banyak menjelaskan tentang status waris
mereka yang lahir di luar perkawinan terhadap pria tersebut yang menghamili si
ibu hal ini sukar untuk ditentukan mengingat perkawinan yang dilakukan oleh si
ibu bersama Bapaknya tidak didasari atas norma yang berlaku, sekalipun jarang
terjadi dari pihak si laki mengakui perbuatan seperti itu sehingga mereka sukar
untuk mewaris terhadap bapaknya (pria bersangkutan). Demikian pula pendapat
yang dikemukakan oleh “Soerojo Wignyodiopoero” menyebutkan dalam masyarakat
adat pada umumnya arah hukum adat anak yang lahir di luar perkawinan terhadap
bapaknya (pria) nampak tidak jelas sehingga hubungan mewaris jarang terjadi.
Kendatipun demikian sesuai dengan data
yang telah diperoleh dari beberapa masyarakat di Bali, mereka yang lahir dari
seorang ibu yang belum melakukan upacara perkawinan secara sah dan anak yang
lahir dari perkawinan yang tidak sah tersebut di atas maka anak ini dapat
dikatakan sebagai anak luar kawin yang diakibatkan sebagai Delik Adat Lokika Sanggraha maka anak tersebut
tidak ada hubungan waris dengan pelaku delik.
2.5.KEWAJIBAN ANAK TERHADAP ORANG TUANYA.
Telah dikemukakan di atas bahwa di
dalam system kekeluargaan yang dianut di Bali yaitu sistem kekeluargaan
Patrilineal atau yang dikenal istilah “Purusa” yang membahwa konsekuensi di dalam system
kewarisan bahwa anak laki – laki yang dipandang sebagai ahli waris di dlam
masyarakat Bali, sedangkan anak wanita hanya bergerak untuk menikmati harta
warisan yang ditinggalkan oleh si pewaris sepanjang belum kawin keluar.
Akan
tetapi dalam pandangan hukum adat Bali seorang ahli waris tidak semata –mata
mempunyai hak untuk mewarisi harta warisan yang di tinggalkan oleh si pewaris,
tetapi ahli waris juga mempunyai kewajiban – kewajiban yang mesti dilaksanakan,
bahkan lebih lanjut dalam kenyataan hidup masyarakat Bali, justru kewajiban –
kewajiban inilah yang lebih dahulu didepankan dari pada hak.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.1.1 Pelanggaran terhadap delik adat Lokika
Sanggraha dapat di ajukan tuntutan ke Pengadilan dan Hakim dalam memeriksa dan
mempertimbangkan perkara menurut hukum adat, tidak di batasi Undang-Undang.
Hakim tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan tentang pembuktian. Bagi hakim
yang terpenting adalah memperhatikan apakah hukum adat itu masih hidup dan
dipertahankan masyarakat adat yang bersangkutan. Adanya alasan-alasan tertentu
mengesahkan anak itu dengan cara: melakukan pembayaran adat supaya boleh
tinggal dalam masyarakat dan perhubungan semata-mata adalah dengan ibunya. Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan adalah sah, jika yang dilahirkan di masa
pertunangan, untuk hal ini dilakukan
pernikahan antara wanita yang sedang mengandung dengan sebilah keris.
Namum yang memberi sebilah keris tersebut adalah orang tua dari wanita
tersebut. Dimana tujuan dari perkawinan ini untuk menghindari adanya gangguan
keseimbangan magis.
3.1.2 Bahwa anak
yang lahir sebagai akibat delik adat Lokika Sanggraha secara garis besarnya
tidak mempunyai suatu hubungan secara garis besarnya tidak mempunyai suatu
hubungan terhadap keluarga laki-laki, pelaku dari kasus ini tidak ada hubungan
pewaris dengan laki-laki pelaku kasus ini, tetapi hanya mempunyai hubungan
dengan ibu yang melahirkan bahwa di dalam pewarisannya ia hanya berhak mewarisi
kepunyaan ibu saja. Selain itu setelah dinikahkan dengan sebilah keris maka
anak yang lahir karena delik adat Lokika Sanggrahaini mewarisi atas harta
kakeknya sama dengan ibunya tersebut.
3.2 Saran-saran
1. Setiap orang tua hendaknya
memberikan pendidikan tentang adat istiadat sejak dini kepada anak-anak
mengingat semakin majunya teknologi dan globalisasi;
2. Dengan
masih banyaknya perkawinan yang tidak sah (akibat Delik Adat Lokika Sanggraha)
membuktikan kesadaran hukum masyarakat masi memerlukan pembinaan, dalam hal ini
hendaknya instansi yang berwenang dan para pemuka agama ikut dalam memberikan
penyuluhan dalam usaha pembinaan mental.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Kitab Adhigama
-
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
-
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974