Senin, 10 Juni 2013

Delik Lokika Sanggraha


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Perbuatan yang melanggar Delik Adat “Lokika Sanggraha” sering kali terjadi dalam masyarakat Hindu Bali, bahkan mengenai, bahkan mengenai kasus-kasus Delik adat Lokika Sanggraha ini telah banyak di adili dan di putuskan oleh pengadilan-pengadilan negeri di Bali.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia tidak dikenal adanya suatu Delik Adat Lokika Sanggraha. Delik Adat Lokika Sanggraha di atur dalam Kitab Adhigama. Pasal 359 Kitab Adhigama menjelaskan Lokika Sanggraha adalah hubungan percintaan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dimana keduanya belum terikat suatu perkawinan yang sah menurut Hukum Nasional maupun Hukum Adat, Delik Adat Lokika Sanggraha berawal dari seorang telah menjanjikan kelak di kemudian hari akan mempersuntingnya sebagai istri sehingga wanita tersebut yang akan mempersuntingnya sebagai wanita tersebut yang akhirnya bersedia menyerahkan segalanya sampai terjadi hubungan biologis dan ternyata kemudian pria tersebut memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang sah.
Ketentuan adat yang mengatur tentang Delik Lokika Sanggraha ini masih di pertahankan dalam kehidupan masyarakat Bali, sehingga pelanggaran teradap delik-delik Adat, khususnya Delik Adat Lokika Sanggraha yang dirasakan sebagai pelanggaran hukum masyarakat dan pelanggaran keadilan masyarakat.
Suatu hubungan biologis tersebut haruslah dijaga dan diarahkan agar terpelihara keseimbangan hubungan tersebut. Apabila aktivitas yang berhubungan dengan kebutuhan biologis yang dilaksanakan dengan tidak patut, maka akan menimbulkan gangguan baik yang bersifat “sekale” (nyata/Nampak dengan panca indra), maupun bersifat “niskala” (magis/tidak Nampak dengan panca indra), yang justru mengganggu keseimbangan hubungan baik yang sifatnya horisontal maupun yang bersifat vertikal
Sanksi yang dijatuhkan terhadap Delik Adat Lokika Sanggraha adalah merupakan pencerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga keberadaan Delik Adat Lokika Sanggraha ini dipertahankan oleh masyarakat yang mencerminkan suatu kebudayaan masyarakat setempat.
Kebudayaan dalam masyarakat itu mempunyai 3 (tiga) wujud yaitu:
1.      Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya.
2.      Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3.      Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Dari ketiga wujud kebudayaan tersebut diatas, norma-norma hukum yang hidup di masyarakat dan dipertahankan oleh masyarakat adalah wujud pertama dari kebudayaan. Wujud dari kebudayaan mempunyai tugas sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan serta memberikan arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat.
Perbuatan yang tidak sesuai dengan keadilan dalam masyarakat atau nilai kemasyarakatan dan lebih dikenal dengan Delik Adat. Pelanggaran terhadap norma-norma kemasyarakatan tersebut menimbulkan ketidak seimbangan atau kegoncangan magis dalam masyarakat setempat.
Dalam perkembangan masyarakat selanjutnya bahyak Delik-Delik Adat Adat tidak hanya diselesaikan dan mendapatkan sanksi atau pamidanaan dari masyarakat atau kepala-kepala adat, tetapi melalui badan-badan peradilan formal. Demikian halnya dengan Delik Adat Lokika Sanggraha, pihak korban mencari keadilan melalui prosedur hukum khususnya Hukum Pidana.
Sehubung dengan dengan hal tersebut Delik Adat Lokika Sanggraha yang masih hidup dan berlaku dalam masyarakat di daerah Bali. Walaupun tingkat pandangan masyarakat bervariasi bagi masyarakat tradisional.
Pada alam pikir tradisional Indonesia yang bersifat ketimuran, yang penting ialah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan orang seorang dengan manusia seluruhnya, antara orang seorang dan teman masyarakatnya serta juga alam lingkungan. Segala perbuatan yang mengganggu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan keseimbangan hukum.

1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah pola penyelesaian pelanggaran Delik Adat Lokika Sanggraha?
2.      Bagaimana kedudukan anak yang lahir karena Delik Adat Lokika Sanggraha dalam kewarisan menurut Hukum Adat Bali?



1.3  TUJUAN
Adapun yang menjadi tujuan dari pembuatan peaper ini adalah:
1.      Untuk mengetahui dan memahami pola penyelesaian pelanggaran Delik Adat Lokika Sanggraha.
2.      Untuk mengetahui sejauh mana kesadaran masyarakat tentang kedudukan anak yang lahir karena Delik Adat Lokika Sanggraha dalam pewarisan yang masih hidup di Bali umumnya.


1.4  METODE
Adapun metode yang kami gunakan yaitu metode normatif, dimana kami mengambil bahan peaper ini dari media online, media cetak dan beberapa literatur. Yang kami gunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan peaper ini.










BAB II
PEMBAHASAN

2.1    POLA PENYELESAIAN DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAHA
2.1.1 PENYELESAIAN DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAH AMELALUI PROSES                            PENGADILAN
            Fungsi hakim dalam memeriksa dan mempertimbangkan perkara menurut hukum adat, tidak dibatasi Undang-Undang. Hakim tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan tentang pembuktian. Bagi Hakim  yang terpenting adalah memperhatikan apakah hukum adat itu masih hidup dan dipertahankan masyarakat adat yang bersangkutan dan apakah hukum adat itu dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan ataukah hukum adat itu sudah tidak sesuai lagi dengan perasaan dan kesadaran hukum masyarakat umum, apakah hukum adat itu masih mempunyai kekuatan material ataukah bahkan bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional.
            Jadi agar pertimbangan Hakim dalam pemeriksaan perkara tidak sia – sia maka kita dapat kembali kepada pendapat Van Hollenven yang menyatakan  :
“Jika dari atas telah diputuskan untuk mempertahankan hukum adat padahal hukum itu sudah mati maka peraturan-peraturan itu sia-sia belaka. Sebaliknya jika dari atas diputuskan bahwa hukum adat itu harus diganti padahal di dusun-dusun, di desa – desa dan dipasar hukum adat itu masih kokoh dan kuat maka hakim akan sia – sia belaka.”


2.1.2 PENYELESAIAN DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAHA MELALUI PROSES ADAT DALAM MASYARAKAT ADAT
            Pola penyelesaian Delik Adat Lokika Sanggraha melalui proses adat dalam masyarakat adat diawali dengan peraturan yang dibuat oleh badan berwenang untuk mengatur tingkah laku manusia dan apabila dilanggar dikenakan sanksi. Jadi adat disini, dilaksanakan untuk menciptakan keadilan dlam masyarakat , adat adalah pencerminan daripada kepribadian sautau bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Dan begitu pula dengan awig – awig yang dibuat oleh perangkat Desa Daerah adat setempat dibuat oleh perangkat Desa adat untuk mengatur daerahnya sendiri.
         Dalam masyarakat bahwa hukum lahir dari masyarakat (Ubi Societies ubi ius) atau masyarakat itu sendri yang melanggar dan memberlakukannya , begitu pula dengan awig – awig bahwa awig – awig itu dibuat oleh perangkat Desa adat yang lahir dari masyarakat Desa adat. Jadi, di sini hukum dengan awig – awig sama, dimana keduannya sama – sama mempunyai kekuatan mengikayt, terbukti dengan adanya landasan hukum pembentukan awig – awig didalam Pasal 18 UUD 19945 dijelaskan bahwa daerah diberi hak otonom I di dlm mengatur dirinya , jadi dalam hal ini termasuk pula Desa atau Desa adat itu sendiri.
         Jadi, peranan penting dari awig – awig disamping sebagai pegangan Kepala Desa yang bersangkutan juga memegang peranan penting dalam menyelesaikan Perkara Perdata di Pengadilan UU no. 14 tahun 1970 tentang “Ketentuan – ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman” dengan adanya awig – awig Desa adat, kelancaran penyelesaian dilaksanakan melalui proses adat adan masyarakat secara berdaya guna dan berhasil guna, maka dipandang perlu melestarikan falsafah dari Tri Hita Karana serta mengadakan perubahan seperlunya sesuai dengan perkembangan.
         Untuk itu bagi petugas hukum secara formal mengadung peraturan hukum akan tetapi kekuatan material daripada peraturan hukum itu tidak sama apabila  penetapan itu dalam kenyataan social sehari – hari dituruti oleh masyarakat maka kekuatan material penetapan itu adalah suatu penetapan yang tidak dituruti didalam kehidupan sehari-hari oleh rakyat kekuatan materil adalah nihil.
         Adaapun kasus dalam hal ini adalah Delik Adat Bali Lokika Sanggraha yang sebagai terdakwa dengan saksi korban dimana keduannya telah menjalin hubungn percintaan sebagai suami istri dan kenyataan terdakwa belum melangsungkan pernikahan sedangkan saksi korban masih lajang atau belum berkeluarga. Sehingga perbuatannya dapat di katakana sebagai Delik Adat Lokika Sanggraha Pasal 359 Adhigama.
         Sebenarnya suatu bentuk hunungan biologis yang sesuai dengan ketentuan agama dan perundang-undangan haruslah dijaga  dan diarahkan agar terpelihara keseimbangan hubungan tersebut. Apabila aktivitas yang berhubungan dengan kebutuhan biologis yang dilaksanakan dengan tidak patut seperti Delik Adat Lokika Sanggraha maka akan menimbulkan gangguan baik yang bersifat “sekala”(Nampak dengan panca indra), mauoun yang bersifat “Niskala” ( Tidak Nampak dengan panca indra), yang justru mengganggu keseimbangan hubungan baik yang sifatnnya horizontal yang terikat dengan kehidupan bermasyarakat maupun yang sifatnya vertical yang berkaitan dengan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa berbentuk kutukan dari yang ghaib.
         Perbuatan atau peristiwa Delik Adat Lokika Sanggraha itu menurut alam pikitran yang tradisional banyak yang tidak rasional, tidak intelektual, tidak liberal, melainkan bersifat kosmis, menempatkan kehidupan umat manusia itu bertautan dengan alam, tidak terlepas dari ancaman Tuhan Yang Maha Pencipta. Gunung meletus, sungai banjir, penyakit merajalela dan lain – lainnnya itu merupak ciri adanya peringatan Tuhan atau hukuman Tuhan akibat perbuatan salah seorang warga masyarakat yang berlebihan tidak bersyukur kepada-Nya.

2.2    KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN AKIBAT DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAHA DENGAN KELUARGA LAKI – LAKI PELAKU DELIK DAN WANITA YANG MELAHIRKAN
         Tentang keberadaaan anak luar kawin ada 2 (dua) pendirian :
   Menggap anak – anak itu tidak bersalah, bebas cela, penghinaan dan hukuman, walaupun hubungan perempuan dan laki – laki tanpa upacara adat , tanpa perkawinan atau sesuatu formalitas apapun.
      Perbuatan melahirkan Anak Tidak Sah adalah dikutuk dan harus dienyahkan, dieksekusikan baik bagi si Ibu maupun bagi si anak.
         Dalam hal ini, jika dilihat dari hal yang pertama, bahwa anak yang diluar perkawinan, ber – ibu pada orang atau perempuan yang tidak menikah yang melahirkannya, sebagaimana juga seorang yangdilahirkan dari seorang ibu yang belum dalam hubungan perkawinan. Anak yang lahir di luar perkawinan dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan tidak tercela atau cacat yang harus diselamatkan dari celaan orang dengan cara mengawinkan wanita tersebut sebelum melahirkan anaknya itu.
         Tetapi dalam hal kedua, terdapat suatu sikap yang keras, mengutuk terhadap ibu yang melahirkan tanpa pernikahan dan anak yang lahir diluar perkawinan tersebut. Hal ini karena dipengaruhi oleh adanya pandangan magis religius bahwa anak yang lahir diluar perkawinan membawa malapetaka dan kerugian material yang sulit dikira-kira dan oleh karena itu kedua – duannya, ibu dan ankanya harus diasingkan dari masyarakat, harus dibunuh atau diserahkan kepada kepa adat/Raja sebagai Budak . Berhubung dengan itu baik dahulu maupun sekarang , diadakan suatu lembaga ( kawin paksa, kawin darurat dan kawin lelikur ), atau aturan ( Delik Adat Lokika Sanggraha), untuk mencegah supaya ibu dan anak jangan sampai tertimpa kemalangan.
         Adapun diketahui bahwa masih ada jalan dengan alasna – alasan tertentu mengesahkan anak itu dengan cara : melakukan pembayaran adat agar boleh tinggal dalam masyarkat dan perhubungan semata – mata adalah dengan ibunya. Anak yang dilahir di luar perkawinan adalah sah, jika yang dilahirkan di masa pertunangan, untuk kasus yang di temukan ini bahwa dilakukannya pernikahan antara wanita yang sedang mengandung anak hasil hubungan di luar perkawinan tersebut dengan sebilah keris. Kalau di lihat lebih jauh perkwinan ini mirip dengan Perkawinan Lelikur yang ada di Minahasa. Namun yang memberikan sebilah keris tersebut adalah orang tua kandung dari wanita tersebut.
         Jadi perkawinan yang terjadi disini tidak sama dengan lembaga – lembaga yang telah ada seperti yang dikemukakan oleh Tamakiran. Lembaga – lembaga itu adalah :
      Kawin Paksa, di sini laki – laki dan wanita yang berbuat tersebut dipaksa untuk kawin. Misalnya Kawin Kerapatan Marga (Palembang) ;
      Kawin Darurat, bila Laki – laki yang berbuat tersebut tidak diketahui atau menghilang, maka wanita tersebut dikawinkan dengan sembarang orang yang mau mengawininya dan apabila ini tidak ada, maka Kepala Adatlah yang mengawininya. Jadi fungsi kawin darurat di sini ialah untuk menutup malu. Misalnya : Kawin Tambelan (Jawa).
      Lembaga Lelikur, lembaga ini terdapat di Minahasa, artinya seorang laki-laki memberikan sesuatu yang bersifat magis religius kepada wanita tersebut sebagai pengakuan bahwa anak yang akan dilahirkan itu adalah anaknya. Sesuatu itu dapat berupa apa saja, misalnya ; keris, pedang , tombak , rambut dan sebagainya.

2.2.1.     HUBUNGAN ANAK DENGAN LAKI – LAKI PELAKU DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAHA
              Hukum adat waris adalah aturan – aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari pewaris kepada para waris dari generasi ke generasi berikutnya. Menurut Ter Haar dikatakan bahwa “Hukum waris adat adalah aturan – aturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana dari masa ke masa proses penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud  dari generai ke generasi.”       
              Dengan demikian dalam hukum waris itu mengandung 3 (tiga) unsur yaitu :
      Adanya harta peninggalan/harta warisan.
      Adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan.
      Adanya ahli waris atau pewaris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.
            Dilihat dari system kewarisannya orang yang mendapat warisan (kewarisan) terdapat tiga macam system yaitu :
      Sistem Kewarisan kolektif
      Sistem Kewarisan mayorat
      Sistem Kewarisan individual
Sistem Kewarisan kolektif adalah apabila para ahli waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi – bagi secara perseorangan. Menurut system ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta peningglan secara pribadi.
            Sistem Kewarisan mayorat adalah apabila harta pusaka yang tidak terbagi – bagi dan hanya dikuasaianak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengelolah dab nenubgut hasilnya. Dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban megurus adan memelihara adik – adiknya sampai mereka dapat berdiri sendiri.
            Sistem Kewarisan individual adalah apabila harta warisan dibagi – bagi dan dapat dimiliki secara perseorangan dengan “hak milik” yang berarti setiao waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksikan tertutama setelah pewaris wafat.
            Kalau di hubungkan dengan system kewarisan menurut hukum Adat  Bali, bahwa Bali menganut system kekeluargaan Patrilineal  (kebapakan). Artinya hanya anak laki – laki yang sah yang bisa mewarisi dari harta peningglan orang tuanya, anak angkat yang sah secara hukum adat juga bisa mewaris, sedangkan anak perempuan tidak bisa mewaris. Tetapi ada suatu pengecualian apabila dalam suatu keluarga mempunyai ‘1 (satu) orang anak perempuan kemudian anak perempuan tersebut berhak mewaris karena statusnya sudah berubah menjadi status anak laki – laki sedangkan yang laki – laki statusnya berubah menjadi perempuan, untuk itu dia tidak berhak lagi mewarisi pada hanya warisan bapaknya artinya dia sudah putus secara hukum status kekeluargaan.
            Demikian juga pada prinsipnya system kewarisan di Bali ada harta warisan yang bisa dibagi – bagi oleh para ahli warisannya.
Misalnya harta warisan yang dapat di bagi – bagi :
      Rumah
      Sawah
      Mobil dan sebagainya
Sedangkan harta warisan yang tidak dapat dibagi – bagi adalah :
      Harta Pusaka
      Tempat Suci
            Dengan demikian system kewarisan menurut hukum adat Bali yang menganut system kekeluargaan patrilineal bila dihubungkan dengan system kewarisan maka dapat di hubungkan yaitu memakai system mayorat dari system individual. Artinya dalam pewarisan ada harta yang dapat dibagi-bagi secara individual da nada harta yang memang tidak bisa dibagi-bagi.

2.3.   HAK ANAK TERHADAP WARISAN ORANG TUANYA
            Dari uraian tersebut diatas dapat memberikan suatu kesimpulan bahwa :
         Dalam hukum adat ada waris status anak di luar perkawinan pada umumnya mewaris pada ibunya (yang melahirkan);
         Hukum adat waris tidak banyak menyebutkan arah hukum anak di luar perkawinan terhadap pria yang bersangkutan.
         Kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1974 dijelaskan dalam Pasal 43 ayat 1 :
         “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
         Jadi anak yang dilahirkan karena Delik Adat Lokika Sanggraha akan langsung menjdai ahli waris dari ibunya.

2.4.HAK WARIS SI ANAK DENGAN PRIA YANG MENGHAMILI IBUNYA
         Sebagaimana dari uraian diatas, bahwasannya dalam masyarakat adat disebutkan adanya anak sah dan tidak sah (diluar perkawinan) mereka lahir sebagai akibat dari perkawian yang dilakukan oleh ibunya dan si bapak sesuai dengan kehendaknya masing – masing, justru dari itu akan menunjukan suatu perbedaan yang sangat berpengaru terhadap status waris si anak di kemudian hari.
         Secara umum, hukum adat  tidak banyak menjelaskan tentang status waris mereka yang lahir di luar perkawinan terhadap pria tersebut yang menghamili si ibu hal ini sukar untuk ditentukan mengingat perkawinan yang dilakukan oleh si ibu bersama Bapaknya tidak didasari atas norma yang berlaku, sekalipun jarang terjadi dari pihak si laki mengakui perbuatan seperti itu sehingga mereka sukar untuk mewaris terhadap bapaknya (pria bersangkutan). Demikian pula pendapat yang dikemukakan oleh “Soerojo Wignyodiopoero” menyebutkan dalam masyarakat adat pada umumnya arah hukum adat anak yang lahir di luar perkawinan terhadap bapaknya (pria) nampak tidak jelas sehingga hubungan mewaris jarang terjadi.
         Kendatipun demikian sesuai dengan data yang telah diperoleh dari beberapa masyarakat di Bali, mereka yang lahir dari seorang ibu yang belum melakukan upacara perkawinan secara sah dan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah tersebut di atas maka anak ini dapat dikatakan sebagai anak luar kawin yang diakibatkan sebagai Delik Adat Lokika Sanggraha maka anak tersebut tidak ada hubungan waris dengan pelaku delik.

2.5.KEWAJIBAN ANAK TERHADAP ORANG TUANYA.
         Telah dikemukakan di atas bahwa di dalam system kekeluargaan yang dianut di Bali yaitu sistem kekeluargaan Patrilineal atau yang dikenal istilah “Purusa”  yang membahwa konsekuensi di dalam system kewarisan bahwa anak laki – laki yang dipandang sebagai ahli waris di dlam masyarakat Bali, sedangkan anak wanita hanya bergerak untuk menikmati harta warisan yang ditinggalkan oleh si pewaris sepanjang belum kawin keluar.
Akan tetapi dalam pandangan hukum adat Bali seorang ahli waris tidak semata –mata mempunyai hak untuk mewarisi harta warisan yang di tinggalkan oleh si pewaris, tetapi ahli waris juga mempunyai kewajiban – kewajiban yang mesti dilaksanakan, bahkan lebih lanjut dalam kenyataan hidup masyarakat Bali, justru kewajiban – kewajiban inilah yang lebih dahulu didepankan dari pada hak.












BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN

3.1.1   Pelanggaran terhadap delik adat Lokika Sanggraha dapat di ajukan tuntutan ke Pengadilan dan Hakim dalam memeriksa dan mempertimbangkan perkara menurut hukum adat, tidak di batasi Undang-Undang. Hakim tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan tentang pembuktian. Bagi hakim yang terpenting adalah memperhatikan apakah hukum adat itu masih hidup dan dipertahankan masyarakat adat yang bersangkutan. Adanya alasan-alasan tertentu mengesahkan anak itu dengan cara: melakukan pembayaran adat supaya boleh tinggal dalam masyarakat dan perhubungan semata-mata adalah dengan ibunya. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah sah, jika yang dilahirkan di masa pertunangan, untuk hal ini dilakukan  pernikahan antara wanita yang sedang mengandung dengan sebilah keris. Namum yang memberi sebilah keris tersebut adalah orang tua dari wanita tersebut. Dimana tujuan dari perkawinan ini untuk menghindari adanya gangguan keseimbangan magis.
3.1.2  Bahwa anak yang lahir sebagai akibat delik adat Lokika Sanggraha secara garis besarnya tidak mempunyai suatu hubungan secara garis besarnya tidak mempunyai suatu hubungan terhadap keluarga laki-laki, pelaku dari kasus ini tidak ada hubungan pewaris dengan laki-laki pelaku kasus ini, tetapi hanya mempunyai hubungan dengan ibu yang melahirkan bahwa di dalam pewarisannya ia hanya berhak mewarisi kepunyaan ibu saja. Selain itu setelah dinikahkan dengan sebilah keris maka anak yang lahir karena delik adat Lokika Sanggrahaini mewarisi atas harta kakeknya sama dengan ibunya tersebut.
3.2  Saran-saran
1. Setiap orang tua hendaknya memberikan pendidikan tentang adat istiadat sejak dini kepada anak-anak mengingat semakin majunya teknologi dan globalisasi;
2. Dengan masih banyaknya perkawinan yang tidak sah (akibat Delik Adat Lokika Sanggraha) membuktikan kesadaran hukum masyarakat masi memerlukan pembinaan, dalam hal ini hendaknya instansi yang berwenang dan para pemuka agama ikut dalam memberikan penyuluhan dalam usaha pembinaan mental.












DAFTAR PUSTAKA
-    Kitab Adhigama
-    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
-    Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

1 komentar: